Vinda adalah seorang wanita yang cantik. Hampir seluruh temannya di sekolah dan kampus mengagumi kecantikannya. Dia juga cerdas. Gelar mahasiswa berprestasi berhasil diraihnya baik di tingkat fakultas maupun universitas. Tak jarang dia pun menjadi duta kampusnya saat berkunjung ke beberapa kampus atau institusi lain untuk studi banding. Berkat kecerdasannya itu pun beberapa negara telah dijelajahinya dalam misi pendidikan.
Hidupnya begitu sempurna. Kesempurnaan itu pun dilengkapi dengan datangnya pangeran dari negeri impian untuk meminangnya. Pangeran itu juga merupakan mahasiswa yang tak kalah sempurnanya dengan Vinda. Berbadan tinggi tegap, wajah rupawan, dan juga cerdas. Saat mereka berdua telah lulus kuliah, mereka pun memutuskan untuk menggenapkan separuh agama dengan menunaikan sunnah Rasulullah, menikah.
Semua orang yang datang ke resepsi pernikahan itu akan terpana melihat betapa serasinya mereka. Resepsi pernikahan itu tidak mewah, namun cukup elegan. Pengantin wanita yang sangat anggun bersanding dengan pengantin pria yang gagah. Sungguh pemandangan yang membuat iri banyak orang, bahkan banyak yang akhirnya berandai-andai. Para hadirin pun memberikan restu dan berdoa, semoga pernikahan kedua mempelai ini bahagia hingga akhir hayat.
***
Memori 10 tahun silam memenuhi ingatan Vinda. Wajahnya masih cantik seperti dulu. Bahkan kini lebih cantik dengan aura kedewasaan yang telah dibangun selama 10 tahun ini dengan suaminya, Taufan. Hingga saat ini, hidupnya sangat sempurna. Dia sangat menyukuri segala yang ada dalam hidupnya. Hampir tak ada yang membuat dia mengeluh. Jika saja dia tidak mendengar ucapan ibu mertuanya 2 hari lalu. Ucapan itu sangat tajam, menorehkan sebuah luka di sanubarinya yang sebenarnya semakin sensitif beberapa waktu belakangan ini.
“Fan, kapan kamu ngasih ibu cucu?” ucap seorang ibu yang sedang duduk di pembaringannya. Seseorang yang duduk di kursi di samping tempat tidurnya hanya menghela napas, kemudian beranjak pelan menuju jendela yang setengah terbuka di sisi lain ruangan. Semburat oranye di sela pepohonan tidak bisa mengusir gundah di hatinya.
“Saya sudah berusaha, Bu. Mohon ibu lebih sabar menunggu. Mungkin Allah masih memilihkan waktu yang tepat untuk memberi cucu buat Ibu,” ucap sosok itu angkat bicara.
“Sampai kapan, Fan? Kamu lihat, ibu sudah tua, sudah sakit-sakitan. Apalagi setelah bapakmu pergi. Ibu pengen nimang cucu, Nak. Kamu satu-satunya harapan ibu.”
Sosok itu menghela napas sekali lagi. Ya, dia sangat mengerti keinginan ibunya. Sebetulnya dia juga sangat mengharapkan kehadiran anggota baru di keluarga kecilnya. Tapi setelah tiga kali istrinya mengalami keguguran 7 tahun silam, dia tidak pernah lagi memaksakan keinginannya itu. Rasa kecewa itu ada. Apalagi dia anak tunggal dan kalau dia tidak punya anak, berarti garis keturunannya akan terputus. Tapi dia juga paham, pasti istrinya lebih kecewa dari dia. Menjadi seorang istri yang tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarganya akan membuatnya merasa tidak berharga. Taufan tidak ingin istrinya merasa seperti itu. Oleh karena itu, dia tak pernah memaksa istrinya. Apalagi sepertinya Vinda mulai enggan periksa ke dokter. Mungkin dia trauma.
“Doakan saja, Bu. Mungkin ini salah satu cara Allah untuk membuat kita mengintrospeksi diri kita. Mungkin ini teguran karena ibu belum memberi restu.” Kalimat terakhir diucapkan Taufan dengan pelan, namun cukup jelas untuk didengar ibunya.
“Kalau kamu ingin ibu memberi restu, tunjukkan kalau kamu dan istri kamu itu emang berbakti sama ibu. Contohnya ya dengan memberi ibu cucu. Coba kamu nggak menikah dengan dia, Fan. Coba kamu menikah sama Sulis. Mungkin ibu udah punya lebih dari satu cucu sekarang. Tuh lihat, si Sulis yang kamu tolak sudah menikah dan punya 3 anak. Kamu nggak bermasalah kan? Istrimu itu kan yang bermasalah? Dari dulu ibu sudah punya firasat kalo dia nggak pantes buat kamu. Istrimu itu yatim piatu, nggak jelas keturunannya. Makanya ibu nggak setuju kamu nikah sama dia. Kalaupun sampe sekarang ibu cuma diam, itu bukan berarti restu sudah turun!” suara ibu meninggi. Napasnya terengah setelah menumpahkan kekesalannya.
“Tapi cinta nggak bisa dipaksakan, Bu. Taufan cinta sama Vinda. Taufan siap menerima Vinda apa adanya. Taufan janji, bagaimanapun caranya Taufan akan memberi ibu cucu.” Dalam hati, pria ini bertekad memulai kembali pengobatan dan konsultasinya dengan istrinya. Dia akan mencari cara dan waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Vinda. Dia tak ingin ibunya terus menerus memandang rendah Vinda karena tidak bisa memberinya keturunan. Toh waktu itu dokter hanya bilang Vinda sulit punya anak, bukan tidak bisa punya anak.
“Ibu nggak yakin. Apa yang kamu harapkan dari istri mandul?”
“Vinda nggak mandul, Bu,” wajah Taufan sudah memerah. Dia selalu perlu mengeluarkan kesabaran ekstra kalau ibunya sudah membahas masalah cucu.
“Iya, nggak mandul. Cuma nggak bisa ngasih anak,” ucap ibunya melecehkan. “Istri kamu itu kan katanya ngerti agama. Agama memperbolehkan laki-laki memiliki istri lebih dari satu kan? Ya sudah, kamu nikah lagi saja. Biar ibu yang carikan calon istri yang sehat wal’afiat!”
Taufan tersentak dan memandang wajah ibunya. Tersirat kemarahan dan kesungguhan dalam ucapannya tadi. Menikah lagi. Sebuah pilihan yang tidak pernah terbersit di pikirannya. Baginya sangat kejam saat mengetahui istri tidak bisa memberikan keturunan, suami malah berniat menikah lagi. Saat istri membutuhkan kenyamanan yang dapat meneguhkan di saat dunianya runtuh, suami malah sibuk memilih wanita lain yang dinilai lebih baik dari istri terdahulunya.
“Taufan nggak siap, Bu,” lelaki itu memalingkan pandangannya ke
arah jendela lagi. Dia belum siap menikah lagi, belum siap melihat seseorang yang sangat dicintainya terluka karenanya.
“Kalau kamu nggak siap, biar ibu yang bilang. Pokoknya, kalau dalam satu tahun ini istrimu tidak ada tanda-tanda hamil, ibu ambil tindakan.”
Untuk ketiga kalinya, Taufan menghela napas, kali ini lebih panjang dari sebelumnya.
Tidak jauh dari ruangan yang pintunya sedikit terbuka itu, berdiri sesosok wanita cantik berjilbab yang sedang sibuk menyeka air matanya. Teh manis di nampan yang dipegangnya erat-erat itu mulai dingin.
***
Sudah seminggu berlalu dari percakapan waktu itu. Taufan belum bicara apapun kepada Vinda. Dia bingung bagaimana harus memulai pembicaraan itu tanpa membuat Vinda tersinggung. Di sisi lain, Vinda menyadari cepat atau lambat Taufan akan memberitahunya rencana itu. Dan Vinda sudah menyiapkan sebuah keikhlasan ketika saat itu tiba.
Namun hingga satu minggu berselang, Taufan belum juga mengajaknya bicara mengenai hal itu. Topik obrolan mereka hanya seputar hal yang umum. Vinda menjadi gemas. Diberanikannya dirinya untuk bertanya lebih dulu.
“Mas, Vinda mau bicara sebentar,” ucap Vinda saat mereka bersiap tidur.
“Ada apa, Sayang?” ucap Taufan sambil menatap mata Vinda. Cinta itu masih terasa. Vinda segera memalingkan pandangannya. Dia takut rasa ikhlas yang dia siapkan dari jauh-jauh hari hilang karena terbayang cinta di mata suaminya. Tidak, dia tidak boleh egois.
“Sebelumnya Vinda minta maaf. Vinda mendengar obrolan Mas dengan ibu seminggu yang lalu.” Vinda menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. Dia perlu kekuatan lebih.
“Vinda setuju dengan perkataan ibu. Bahkan Vinda mau mencarikan calon yang lebih baik buat Mas. Mas kan punya kewajiban untuk membahagiakan ibu. Selagi masih bisa, Mas.” Vinda tersenyum meyakinkan suaminya.
“Tapi, Sayang, kita kan masih bisa berusaha, masih bisa berobat. Itu pilihan terakhir saja.”
“Mungkin, kita butuh pancingan, Mas. Mungkin, dengan mas menikah lagi, dan punya anak dari wanita itu, kita juga bisa punya anak, Mas.” Ya, mungkin.
Taufan terpana melihat istrinya. Dengan pengakuan tulus dari Vinda seperti itu, justru membuatnya semakin tidak mau menduakannya. Ya Allah, dicari di mana lagi istri yang begitu solihah seperti ini?
“Kamu yakin? Ibu masih memberi waktu satu tahun, kita berusaha saja dulu. Kalau sudah satu tahun kita masih belum punya anak, baru kita pikirkan solusi yang lain,” ucap Taufan sambil memeluk istrinya.
“Yakin, Mas. Lagian, Vinda nggak akan kesepian lagi nanti. Apalagi kalau Mas lagi dinas ke luar kota. Rumah ini masih akan tetap luas walau ditambah satu orang lagi,” Vinda menjawab, tanpa melepaskan pelukan suaminya. Air mata kembali menetes dari jendela hatinya. Segera dihapusnya agar tidak diketahui suaminya. Dia akan mati-matian menjaga keikhlasan itu agar tidak lepas.
***
Hari itu Vinda dan Taufan kembali mengunjungi rumah ibunda Taufan. Vinda menceritakan keputusan dia dan suaminya yang setuju dengan keputusan sang bunda. Ibunda Taufan terlihat sangat senang. Dia segera menunjukkan foto seorang gadis manis berjilbab kepada Taufan. Namanya Aini. Ternyata, ibu telah mencari calon istri untuk Taufan dari jauh-jauh hari. Hati Vinda kembali tersayat. Ternyata ibu mertuanya begitu tidak menyukainya.
“Ibu sudah menyelidiki semuanya. Dia anak gadis baik-baik, anak teman baik ibu. Keluarganya terpandang, riwayat kesehatannya juga bagus. Kalau kamu setuju, besok ibu telepon dia. Mungkin beberapa hari lagi bisa main ke sini,” ucap Ibu dengan penuh semangat.
“Nggak usah terburu-buru, Bu. Biar Taufan pelajari dulu biodatanya, lalu istikhoroh. Lagian dia juga belum tentu mau sama laki-laki yang sudah beristri.” Taufan mencoba menetralisir keadaan. Dia sangat merasa tidak enak dengan istrinya.
“Lho, kenapa? Hal yang baik itu nggak boleh ditunda-tunda kan? Kamu takut istrimu marah? Lha wong dia sudah mengizinkan. Iya kan, Vinda?”
“Iya, Bu. Mas, dicoba saja dulu ya. Nanti pas ketemu kan Mas juga bisa sekalian mengobrol. Tanya-tanya. Penjajakan, gitu,” ucap Vinda sambil mencoba tersenyum. Taufan hanya bisa pasrah.
***
Hari yang ditunggu-tunggu Ibu namun dicemaskan Taufan pun tiba. Aini datang berkunjung ke rumah ibu, ditemani kakak laki-lakinya. Aini sudah tahu siapa Taufan, dan statusnya saat ini. Sebetulya dia juga tidak tega menerima tawaran ini dari Ibunya Taufan. Tapi saat dia menerima telepon dari Vinda dan mendengar kisah mereka, Aini mau menerima perjodohan ini.
Aini gadis yang manis dan menyenangkan. Dia ramah dan cepat akrab dengan setiap orang. Pantas Ibu sangat menyukainya, pikir Vinda. Aini dan Vinda cepat menjadi akrab. Mereka sibuk membicarakan rancana pernikahan dan segala pernak-perniknya. Ibu yang melihat hal itu merasa senang. Rasa tidak sukanya pada Vinda berangsur-angsur pudar. Anak ini sangat tulus. Semoga dia tidak menyalahkanku
atas keputusan ini, batin Ibu.
Akhirnya telah diputuskan, pernikahan akan dilaksanakan bulan depan. Tidak ada pesta yang meriah, hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat. Aini tidak protes mengenai hal ini, padahal ini pernikahan pertamanya dan dia harap juga yang terakhir. Karena Aini sangat mengerti, pesta yang meriah akan sangat menyulitkan Taufan dan Vinda. Bukan soal materi, tapi soal status. Vinda yang akan menjadi istri tua, dan Taufan yang akan memiliki dua istri.
Hari-hari terasa begitu cepat bagi Vinda. Kini dia hanya memiliki waktu kurang dari sebulan untuk memiliki suaminya secara utuh. Bulan depan, dia hanya bisa mendapatkan setengah dari suaminya. Tapi Vinda tidak menyesal. Dia sudah tahu dan siap menerima konsekuensi dari keputusannya dulu. Vinda tidak menyia-nyiakan sisa waktu yang dimilikinya. Dia lebih perhatian kepada suaminya. Dia berhias lebih cantik setiap hari, menyiapkan makanan yang lebih bervariasi dan lebih enak, juga melayani suami dengan lebih baik.
Taufan menyadari perubahan sikap istrinya. Malam itu, mereka bicara dari hati ke hati. Taufan menceritakan perasaannya yang sebenarnya belum siap dengan pernikahan itu. Vinda hanya bisa menenangkan dan meyakinkan Taufan, InsyaAllah ini yang terbaik.
“Mas, terima kasih ya. Mas sudah memberi kebahagiaan yang sangat besar di hidup Vinda. Vinda minta maaf kalau selama ini Vinda belum maksimal melaksanakan kewajiban sebagai istri. Vinda harap, Mas ridho dengan segala yang Vinda lakukan kepada Mas. Karena ridho Mas itu kunci surga buat Vinda.”
Taufan menatap istrinya lama, lalu mengecup keningnya. “Mas ridho atas segala hal yang telah kamu lakukan. Tarima kasih juga, karena kamu telah mengisi kehidupan Mas. Mas harap, kamu jangan pernah berubah, walaupun Mas sudah menikah lagi nanti. Hidup baik-baik ya, dengan Aini. Tolong ingatkan Mas kalau sudah berlaku tidak adil. Mas akan tetap sayang sama kamu.”
Vinda mengangguk dan langsung memeluk suaminya tercinta.
***
Rumah keluarga Taufan ramai oleh sanak kerabat yang membantu persiapan acara pernikahan. Pernikahan akan dilaksanakan lusa. Kini mereka sibuk membereskan rumah dan mempersiapkan segala sesuatu untuk lusa. Vinda sibuk di dapur, membantu mempersiapkan kue kering untuk para tamu besok. Vinda sebetulnya kurang enak badan hari itu, namun dia merasa tidak enak kalau tidak membantu.
Brak!! Terdengar suara di kamar mandi. Seorang ibu segera melihat ke kamar mandi. Dia langsung teriak ketika melihat tubuh Vinda tergeletak di kamar mandi tak sadarkan diri. Darah segar terlihat menggenang di sekitar paha dan kakinya.
Taufan langsung membawa istrinya ke rumah sakit. Alangkah terkejutnya dia ketika mendengar istrinya hamil tiga minggu. Namun kandungan itu tidak mungkin terselamatkan. Selain berita itu, ternyata masih ada fakta yang lebih mengejutkan: di rahim Vinda ada kanker ganas. Jadi kalaupun Vinda tidak jatuh di kamar mandi, janin itu tetap tidak akan bisa dipertahankan.
Taufan berdoa di tepi ranjang istrinya. Istrinya terlihat sangat pucat dan lemah. Masih terngiang perkataan dokter beberapa saat yang lalu. Vinda harus segera dioperasi, kalau bisa malam ini. Karena kalau tidak kanker itu bisa membahayakan nyawanya. Taufan sangat menyesal kurang memperhatikan istrinya. Dia pernah memergoki Vinda sedang minum sesuatu, seperti obat. Waktu Taufan bertanya, Vinda hanya menjawab, biar Vinda tetap fit, sambil tersenyum. Taufan mengira itu hanya vitamin atau obat penguat rahim dari dokter. Dia menyesal, mengapa dia tidak mencari tahu lebih lanjut.
Taufan segera menandatangani surat izin operasi. Dia ingin istrinya segera sembuh. Sebelum waktu operasi tiba, Taufan diperbolehkan menemani istrinya. Ibu dan Aini juga ikut menunggui Vinda. Ibu tak berhenti menangis. Beliau merasa sangat bersalah kepada Vinda.
Perlahan Vinda membuka matanya. Ditatapnya satu persatu orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang dicintainya tampak sangat sedih. Taufan yang menyadari Vinda telah siuman segera memanggil dokter. Setelah itu dia kembali duduk di samping ranjang istrinya sambil menggenggam tangannya.
“Mas, maafkan Vinda ya,” ucap Vinda lemah.
“Sssht, tidak usah bicara dulu. Kamu masih lemah. Nanti malam kamu akan operasi. Jangan menyerah ya, Sayang. Mas sangat ingin kamu sembuh.”
“Mas ridho sama Vinda?” pertanyaan itu begitu lemah. Mata Taufan berkaca-kaca mendengar pertanyaan itu. Adakah makna lain dari pertanyaan ini?
“Iya, Mas ridho. Tapi kamu harus sembuh ya. Operasinya nggak lama lagi. Bertahan ya, sebentar lagi.”
“Alhamdulillah,” ucapan Vinda hanya terdengar seperti bisikkan. “Bu, Ai, maafkan Vinda ya.”
“Nak, Ibu yang harus minta maaf. Maafkan kesalahan ibu selama ini. Cepet sembuh ya, Nak,” ucap Ibu sambil terisak. Aini hanya mengangguk.
Vinda tersenyum. Bibirnya lalu bergerak, seperti bicara sesuatu namun tak terdengar. Taufan mendekatkan telinganya ke arah bibir Vinda. Namun kalimat yang didengarnya membuat air matanya tak kuasa dibendung lagi. Vinda sedang mengucapkan syahadat. Perlahan sinar matanya meredup. Mata itu pun tertutup untuk selama-lamanya.
***